
Tales of the Abyss Simbolisme dan Filosofi di Balik Ceritanya
Dalam dunia video game, Tales of the Abyss terutama genre JRPG, tidak sedikit judul yang mencoba menyampaikan lebih dari sekadar petualangan dan pertarungan. Namun hanya beberapa yang berhasil mengangkat tema filosofis dan simbolisme secara mendalam, menjadikannya lebih dari sekadar hiburan. Salah satu judul yang menonjol dalam hal ini adalah RPG klasik rilisan Bandai Namco yang sempat hadir di PlayStation 2 dan Nintendo 3DS.
Game ini tidak hanya dikenang karena sistem pertarungannya yang dinamis, melainkan karena dunia, tokoh, dan konflik yang dibangun dengan fondasi ideologis dan nilai-nilai eksistensial. Dari konsep takdir yang telah ditulis sebelumnya, hingga perjuangan eksistensial seorang karakter yang mempertanyakan haknya untuk hidup — semua disampaikan dengan narasi yang kuat dan penuh makna.
Artikel ini akan mengupas berbagai simbolisme dan filosofi yang tersembunyi di balik kisah epik tersebut. Kita akan menyentuh ide-ide tentang kehendak bebas, identitas, moralitas, dan eksistensi manusia yang membuat game ini jauh lebih dalam dari yang terlihat di permukaan.
Score: Simbol Takdir yang Mengikat
Salah satu elemen paling mencolok dalam dunia Auldrant — tempat cerita berlangsung — adalah keberadaan Score, kitab ramalan yang diyakini meramalkan masa depan semua hal, mulai dari bencana, perang, hingga kehidupan individu.
Score bukan sekadar alat naratif, tapi simbol dari sistem deterministik, di mana semua telah ditetapkan dan manusia hidup sebagai pelaku skrip yang ditulis sebelumnya. Keyakinan terhadap Score menjadi doktrin sosial, keagamaan, dan politik. Rakyat tidak lagi berpikir kritis; mereka sekadar menjalani apa yang sudah tertulis.
Dalam konteks filosofis, Score merepresentasikan perdebatan klasik antara determinisme dan kehendak bebas. Apakah manusia benar-benar punya pilihan? Ataukah semua yang terjadi adalah hasil dari sistem besar yang tak bisa dilawan?
Konflik utama dalam game ini dibangun di atas pertanyaan ini. Para tokoh utama, terutama Luke, akhirnya memilih untuk melawan Score dan menulis masa depan mereka sendiri, memberi pesan kuat tentang kemerdekaan berpikir dan bertindak.
Luke dan Replika: Krisis Identitas Eksistensial
Karakter utama dalam cerita ini, Luke fon Fabre, pada awalnya adalah sosok egois dan kekanak-kanakan. Namun segalanya berubah ketika ia mengetahui bahwa dirinya adalah replika, bukan manusia asli. Ia hanyalah hasil dari eksperimen, tiruan dari seseorang bernama Asch.
Pengungkapan ini membawa Luke pada krisis eksistensial mendalam. Ia mempertanyakan haknya untuk hidup, tujuan keberadaannya, dan apakah ia hanya alat yang digunakan oleh orang lain.
Filosofi eksistensialisme hadir kuat di sini — terutama dari pemikiran Jean-Paul Sartre dan Søren Kierkegaard yang berbicara tentang penciptaan makna hidup oleh individu sendiri, bukan oleh sistem luar. Luke memilih untuk tetap hidup, bukan karena ia adalah replika, tetapi karena ia ingin menciptakan makna dan tujuan sendiri.
Transformasi Luke adalah simbol dari perjuangan individu untuk menolak label yang diberikan dunia, dan membentuk jati diri sejati melalui tindakan.
Fonons dan Sifat Realitas
Fonons, elemen dasar dunia Auldrant, terdiri dari tujuh jenis energi yang menjadi dasar dari semua bentuk kehidupan dan materi. Fonon Ketujuh memiliki kemampuan khusus — ia dapat membawa suara masa depan, dan inilah yang digunakan untuk menulis Score.
Dari sudut pandang simbolik, Fonons mencerminkan struktur metafisis dunia, seperti teori unsur atau atom dalam filsafat kuno. Namun lebih dari itu, Fonon Ketujuh menjadi lambang dari pengetahuan absolut, sesuatu yang berbahaya jika disalahgunakan.
Organisasi seperti Order of Lorelei yang menggunakan Fonon Ketujuh untuk mengontrol masyarakat mencerminkan bagaimana pengetahuan yang seharusnya membebaskan justru bisa memperbudak jika dipolitisasi.
Fonons juga menjadi perwujudan dari cara manusia memahami dunia: campuran antara sains, spiritualitas, dan interpretasi subjektif yang bisa membawa pada kemajuan — atau kehancuran.
Van Grants: Idealisme yang Keliru
Van, mentor sekaligus antagonis utama dalam cerita, memiliki motif yang sangat berbeda dari musuh tipikal. Ia ingin menciptakan dunia baru di mana tidak ada lagi penderitaan akibat Score. Namun, caranya adalah dengan menghancurkan dunia lama dan menggantinya dengan replika.
Van adalah simbol dari idealisme ekstrem yang kehilangan empati. Ia percaya bahwa tujuan mulia bisa membenarkan sarana apa pun, termasuk pengorbanan massal. Dalam filsafat, ini bisa dikaitkan dengan paham utilitarianisme destruktif atau bahkan nihilisme aktif, di mana nilai-nilai lama dihancurkan untuk menciptakan sistem baru.
Meskipun terlihat logis, pendekatan Van mengabaikan nilai kehidupan individu. Ia menjadi gambaran dari bagaimana ideologi, jika tidak disertai moralitas, bisa menjadi alat penindasan.
Asch: Antitesis dari Luke dan Dilema Eksistensial
Asch, “manusia asli” yang digantikan oleh Luke, adalah karakter tragis dalam cerita. Ia dibesarkan dalam penderitaan dan kehilangan, menyimpan kemarahan terhadap dunia dan dirinya sendiri. Namun di balik sikap kerasnya, Asch juga mempertanyakan makna eksistensinya.
Dalam kisah ini, Asch mewakili dilema tentang keaslian dan kehilangan jati diri. Meskipun secara biologis lebih “asli” dari Luke, ia tidak bisa merebut kembali kehidupan yang telah diambil. Dunia tidak memberinya ruang untuk hidup damai.
Konflik antara Luke dan Asch bukan hanya pertarungan dua karakter, tetapi pertemuan antara dua bentuk penderitaan — yang satu ingin menjadi “asli”, yang lain merasa haknya dirampas.
Tragisnya, keduanya akhirnya memilih jalan masing-masing. Asch berakhir dalam pengorbanan yang sunyi, sementara Luke melanjutkan hidup. Ini menunjukkan bahwa tidak semua perjuangan eksistensial berakhir dengan kemenangan. Terkadang, penerimaan adalah bentuk akhir dari eksistensi.
Order of Lorelei dan Simbol Kekuasaan Tales of the Abyss
Order of Lorelei, organisasi keagamaan dalam cerita, pada awalnya tampak seperti penjaga ketertiban dan spiritualitas. Namun, semakin jauh cerita berjalan, semakin terlihat bahwa mereka adalah alat kekuasaan yang melindungi Score dengan segala cara — termasuk kebohongan dan kekerasan.
Ini adalah cerminan dari kekuasaan institusional yang mengklaim kebenaran mutlak. Dalam banyak filsafat politik, organisasi seperti ini dilihat sebagai bentuk hegemoni ideologis — menciptakan narasi tunggal yang menindas keragaman pemikiran.
Melalui Order of Lorelei, game ini menyampaikan kritik terhadap otoritas yang mengatur hidup manusia berdasarkan “kebenaran absolut” yang tak boleh dipertanyakan.
Pengorbanan dan Moral Ambiguity
Dalam game Tales of the Abyss, tidak ada karakter yang 100% baik atau jahat. Semua tokoh memiliki latar belakang yang membentuk mereka — luka masa lalu, trauma, ketidakmampuan memaafkan, atau rasa bersalah yang mendalam.
Beberapa karakter melakukan kesalahan fatal tapi berusaha menebusnya. Ada pula yang berjuang keras namun tetap gagal. Ini adalah bentuk ambiguitas moral yang realistis dan membuat cerita terasa manusiawi.
Filosofi yang ditawarkan adalah bahwa hidup bukanlah tentang menjadi sempurna, tapi tentang mencoba memperbaiki kesalahan dan bertanggung jawab atas pilihan. Ini relevan di era mana pun, termasuk dunia kompleks tahun 2025.
Relevansi Simbol dan Pesan di Tahun 2025
Tema dan simbolisme dalam game ini menjadi semakin relevan saat kita hidup di dunia yang makin diatur oleh sistem, algoritma, dan kecenderungan prediktif. Apa yang dulu disebut ramalan Score, kini bisa ditemukan dalam bentuk machine learning, AI, dan big data yang mencoba memetakan masa depan.
Pertanyaan tentang kehendak bebas, identitas digital, dan otoritas moral menjadi diskusi nyata. Apakah kita masih punya kendali atas hidup, ataukah semuanya telah ditentukan oleh sistem?
Dalam konteks ini, game Tales of the Abyss menjadi refleksi sosial yang kuat, bukan hanya karya fiksi. Sebagaimana platform hiburan seperti dultogel terus mengeksplorasi bentuk baru interaksi digital, game ini mengajak pemain untuk mengeksplorasi makna kehidupan dalam dunia yang makin kompleks.
Baca juga : Fatal Frame dan Kisah Nyata Fakta yang Wajib Diketahui
Kesimpulan
Game Tales of the Abyss bukan hanya tentang pertarungan atau menjelajah dunia. Ia adalah karya naratif yang penuh simbol, pertanyaan filosofis, dan konflik ideologis. Dari Score hingga krisis identitas Luke, dari ambisi Van hingga pengorbanan Asch, setiap elemen mengandung makna mendalam.
Simbolisme dan filosofi yang terkandung dalam cerita menjadikannya salah satu JRPG paling kaya secara intelektual dan emosional. Ia layak dipelajari, bukan hanya dimainkan.
Dalam era digital dan sosial yang terus berubah, pesan-pesan dalam cerita ini tetap beresonansi. Game Tales of the Abyss mengingatkan kita bahwa dalam segala hal yang tampak telah ditentukan, kita tetap punya pilihan untuk berpikir, bertindak, dan menjadi diri sendiri.